Free West Papua

Kamis, 24 Mei 2012

Arnold Ap, Membangun Budaya Pembebasan

Arnold Clemens Ap adalah sosok fenomenal yang lahir dalam blantika musik Papua pada era 1980-an. Tidak banyak Masyarakat Papua yang mengenalnya saat ini karena semua dokumen musik miliknya dilenyapkan pasca beliau dibunuh oleh Kopasandha pada Hari Paskah Tahun 1983 (Aditjondro; 2000). Arnold Ap berasal Dari Pulau Numfor di Pesisir Utara Pulau Papua. Beliau yang masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) saat itu sudah dipercayai oleh pihak kampus untuk menjadi Kepala Museum Loka Budaya Uncen. Kepercayaan dari pihak kampus ini tidak disia-siakan. Beliau membangun sebuah group musik yang diberi nama Mambesak (Burung Nuri) yang menurut Orang Biak adalah Burung Suci. Gerakan ini kemudia dianggap sebagai sejarah awal gerakan mahasiswa di Papua. Kedekatan Arnold dengan Masyarakat Adat Papua dari berbagai unsur masyarakat menimbulkan kecurigaan pihak aparat keamanan yang mencurigainya memiliki kedekatan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal inilah yang kemudian merenggut nyawanya di Pasir Dua Jayapura saat jendak melarikan diri ke Papua New Guinea (PNG). Membangkitkan kembali kesadaran masa akan jati dirinya sebagai Bangsa Papua yang di lakukan oleh Arnold Ap ini bagi Ibe Karyanto adalah berusaha membangun budaya pembebasan bagi rakyatnya yang tertindas dalam bidang seni sekalipun karena dominasi musik gereja dan musik melayu yang sedang melanda Tanah Papua saat itu. Arnold Ap dengan Grup Mambesaknya yang terus menggeliat di Tanah Papua membangun begitu banyak kesadaran di tingkat masa rakyat mampu membangkitkan bukan cuma kesadaran dirinya tapi juga kesadaran politik. Hal ini tidak dapat dianggap enteng oleh aparat karena membahayakan bagi interitas bangsa dan negara. Arnold Ap dengan kelompoknya Mambesak, mengalami penculikan dan pembunuhan karena dinilai membahayakan negara dengan membangkitkan jatidiri bangsa Papua melalui tarian dan nyanyian (J. Budi Hernawan OFM, Gereja-gereja di Papua: menjadi nabi di Tanah sendiri? Makalah seminar pada kuliah perpisahan Dr. At. Ipenburg STT I.S. Kijne, Abepura, 30 Maret 2002). Sungguh ironis. Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budayanya. Semoga alat negara ini tidak lagi menjadi mesin yang membunuh karakter budaya di dalam negaranya sendiri seperti yang telah terjadi di Papua ini dampak dari kekerasan ini, tidak banyak musisi Papua yang muncul karena ketakutan dan trauma di masa lalu. Semoga dengan bergulirnya demokrasi yang lebih terbuka di seantero Nusantara akan melahirkan lagi musisi-musisi muda Papua yang juga ikut meramaikan blantika musik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar